Wednesday, May 11, 2016

Mutiaraku itu bernama Adi

Pagi itu,isteriku yang sedang memasuki umur kehamilan 40 minggu sempat mengeluh 'rembes"  Segera setelah itu, kami membawa dan memeriksakan ke bidan terdekat. Jarak dari rumah tinggal ke tempat bidan Erna, kira-kira 300 meter. Hasil pemeriksaan bidan, pada kandungan isteriku mengatakan air ketubanya sudah pecah. Kepada isteriku, bu bidan menyarankan untuk segera membawanya ke Rumah Sakit. Sejurus kemudian, kami bergegas ke RSUD Kebumen. Perjalanan ke rumah sakit, tidak terlalu jauh, kira-kira 15 menit dengan menggunakan becak.

Dalam perjalanan, pikiranku campur aduk. Sesekali aku mendengar, isteriku menghela nafas panjang. Kudekap, kedekap lagi isteriku dan hanya ini yang dapat aku lakukan. Diterpa udara pagi, mukaku terasa dingin. Dalam hati, aku berharap Allah melancarkan semua jalan untuk kelahiran anak dan juga isteriku. Tiga jam berikutnya, kira-kira jam 08.00 di RSUD Kebumen, anakku lahir. Anak pertamaku lahir.setelah menunggu kira-kira 14 bulan sejak menikah. Di ruang VK RSUD Kebumen itulah anak pertamaku memekikkan tangis pertamanya. Dia lahir pada hari minggu, tepatnya tanggal 21 Desember 1997.  Dengan berat 2,6 kilo gram, memang tidak terlalu besar, tetapi bersyukurnya dapat lahir spontan tidak terjadi penyulit selama proses persalinanya. Bu Bidan Puji, aku ingat namanya, dialah yang membantu menolong persalinan anak pertamaku. Pagi itu, Allah memberiku mutiara hidup melalui isteriku. Mutiara itu kami beri nama Adi Nugroho. Adi Nugroho, dalam bahasa jawa kuna berarti karunia yang besar. Aku memaknai kelahiran anakku sebagai pemberian Allah yang besar kepadaku. Untuk itu, sebagai amanah, aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Agar anakku itu bisa tumbuh sehat, sholeh dan berguna bagi agama dan masyarakat.

·         "Nak, Bapak mohon maaf, mengasuh tanpa pengalaman"
Di hari-hari pertama kehadiran si buah hati tentulah sangat luar biasa. Terutama dalam mengurus bayi. Terutama aku sebagai bapak, blank tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sehingga lebih banyak menunggu komando. Inilah barangkali kebodohanku sebagai seorang bapak. Aku tahunya hanya bekerja dan bekerja. Bahkan di kantorpun, aku coba kerjakan kegiatan lembur. Dengan harapan rezeki akan mengikutinya. Tetapi aku tidak tahu, bagaimana istriku dirumah dengan anakku. Hingga suatu ketika, aku melihat anakku sudah tidur, isteriku juga tidur, dari raut mukanya nampak,  lelah. Aku segera mengambil air wudlu untuk sholat. Setelah sholat, aku berdoa. Aku meminta ampun pada Allah, atas segala kesalahanku. Aku juga meminta maaf pada anak dan isteriku. "Nak, Bapak mohon maaf, mengasuhmu tanpa pengalaman. Dan aku belum bisa jadi Bapak yang baik”

Tahun-tahun pertama kehidupan Adi, anakku lebih banyak dan terasa lebih dekat dengan istriku. Waktu itu isteriku lebih banyak di rumah. Sejak menjalang kelahiran anakku yang pertama, istriku memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja di RS Swasta di Jogjakarta tempatnya bekerja. Kami memutuskan menetap di Kebumen. Isteriku praktis kegiatannya full sebagai ibu rumah tangga. Sehingga isterikupun dapat menyempurnakan memberikan air susunya untuk anakku hingga dua tahun. Akupun bersyukur, isteriku sudah memberikan hak anak dengan sebaik-baiknya. Kondisi ini membuat kesehatan, terutama daya tahan anakku lebih baik. Anakku tumbuh dan berkembang cukup optimal. Anakku tergolong sangat aktif, dan Alhamdulillah jarang menderita sakit.

Istriku sekolah lagi: babak baru bagi Adi
Babak baru kehidupan Adi, dimulai ketika isteriku memutuskan untuk sekolah lagi. Kali ini isteriku mencoba masuk di Akademi Kebidanan ‘Aisyiyah Jogjakarta. Isteriku memiliki latar belakang pendidikan SMA swasta masehi di Kebumen; setelah lulus, masuk ke sekolah perawat RS Bethesda di Jogja, hingga bekerja di sana. Berbekal keyakinan untuk meningkatkan kualitas agama dan pendidikan yang berbasis Islam, berbagai upayapun aku dan isteriku lakukan. Dari mempersiapkan ujian tertulis, hingga persiapan ujian praktek membaca Al Qur’an. Isteriku bersemangat untuk ini. Tekadnya yang tinggi membawanya dapat menyelesaikan Kursus Cepat membaca Al Qur’an dengan metode An-Nur di komplek ruko di Gamping-Jogjakarta.

Subhanallah, pada hari pengumuman seleksi penerimaan mahasiswa baru, isteriku diterima. Diterima masuk kuliah di Perguruan Tinggi, dengan kondisi sudah mempunyai anak, memang bukan tanpa masalah. Masalah terbesarnya justru baukan persoalan akademiknya. Tetapi lebih pada persoalan pengasuhan anak. Tanpa pikir panjang aku putuskan, untuk kontrak rumah di Gamping-Jogjakarta. Dengan pertimbangan, suasana cukup tenang untuk anak dan isteriku, dekat perbelanjaan dan jalur angkutan bis kotanya mudah untuk berangkat dan pulang dari kampus.
Kamipun pindah ke Jogjakarta. Isteriku sudah mulai sibuk matrikulasi dan pengkaderan. Sementara Adi, usia 3 tahun tidak dalam pengasuhan penuh ibunya.

Adi berkembang menjadi anak dengan solidaritas tinggi
Memasuki usia sekolah dasar, Adi berkembang menjadi anak dengan solidaritas tinggi. Menonjol jiwa sosialnya terhadap kawan, serta kemampuannya untuk memimpin kelompok. Dalam prestasi pelajaran, Adi lebih berminat pada mata pelajaran non-eksakta. Aku melihat  Adi memiliki kemampuan menghafal konsep dan mengingat kejadian.

Melepas ke Pondok dengan Subhanallah
Adi telah lulus dari SDIT Al Madinah Kebumen. Tiba giliran masa pendaftaran masuk SMP. Banyak tawaran dan adanya peluang masuk di sekolah favorit di Kebumen. Sebagai orang tua, aku menyarankan agar selektif dalam memilih sekolah. Sebagai anak-anak yang beragama Islam, sebaiknya memilih sekolah yang juga bernuansa Islam. Subhanallah, Adi membenarkan, bahkan ia menyatakan keinginannya bersekolah di pondok pesantren.

Di sekolahnya, SDIT Al Madinah sering ada pembekalan bagi siswa juga program parenting bagi orang tua. Termasuk pembekalan tentang keutamaan memilih sekolah untuk anak yang bernuansa agama. Hal ini penting, seperti dikatakan Ketua MUI Riau, Prof DR H Mahdini yang dikutip Republika, karena pendidikan akhlak dan agama merupakan hal yang tidak boleh terlupakan apalagi ditinggalkan semata-mata mengejar kesuksesan duniawi. Perlu diketahui juga, demikian Mahdini, bahwa tidak semua institusi pendidikan formal mengajarkan tentang akhlak dan keagamaan. "Untuk itu, para orang tua perlu, bahkan sangat perlu agar selektif dalam memilih jenjang pendidikan untuk anak-anak. Jangan sampai salah dan menyesal di belakang hari," katanya. Jangan sampai, kata dia, demi mengejar kecerdasan duniawi, akhlak dan akidahnya menjadi terganggu dan makin berkurang.

Untuk memperoleh gambaran pendidikan di Pondok Pesantren, aku mengajak Adi, anakku, berkunjung dan mencari informasi ketiga pondok pesantren. Lokasi pertama yang aku tuju, adalah SMP Islam Terpadu Pondok pesantren Hidayatullah di Ngaglik-Sleman, Jogjakarta. Pondok pesantren ini sama seperti SDIT Al Madinah Kebumen, dikelola oleh   Hidayatullah. Beralamat di Jl.Palagan Tentara Pelajar Km. 14, 5, Candi, Ngaglik, Kec. Sleman,
Pesantren Hidayatullah Yogyakarta berlokasi di Balong –sebuah dusun kecil nan asri dengan panorama lereng Merapi- sebagai pusat kegiatannya. Di atas tanah seluas kurang lebih 1 hektar ini berdiri masjid, gedung pendidikan TPA-KB Permata Ummi, TKIT Yaa Bunayya, SDIT Hidayatullah, SMP-SMA Integral Hidayatullah, asrama anak binaan, rumah pengasuh dan dapur umum.
Sekolah bernuansa Islam yang aku tunjukkan pada anakku Adi, adalah SMPIT Al Furqan-Kutowinangun, Kebumen, yang berdiri pada tahun 2010. Bertepatan ketika aku dan anakku berkunjung, SMPIT Al Furqan Kutowinangun, Kebumen, mulai berdiri dan menerima pendaftaran. Ketika berkesempatan bertemu dengan staf sekolah, aku sempat memperoleh penjelasan dan gambaran tentang sekolah. Lembaga pendidikan yang dirintis oleh Bapak KH Mudzofir itu dimulai tahun 2002. Pada tahun 2002 Yayasan Al-Hidayah mulai merintis Play Group dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu, dan mendapat apresiasi yang menggembirakan dari masyarakat.  Atas desakan wali murid dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar, pada tahun 2004 didirikanlah Sekolah Dasar Islam Terpadu AL-FURQAN.  Semenjak didirikan hingga sekarang, SDIT Al-Furqan mampu meraih prestasi yang gemilang, baik prestasi akademik maupun non akademik di Jawa Tengah, sehingga AL-FURQAN menjadi salah satu ikon Lembaga Pendidikan Islam Alternatif yang sangat diperhitungkan di Wilayah Kabupaten Kebumen.Tingginya animo masyarakat baik di lingkungan sekitar maupun dari luar kota, serta untuk menampung lulusan SDIT Al-Furqan, agar pendidikan islami yang berkelanjutan terwujud, maka pada tahun 2010 di dirikan SMP IT AL-FURQAN.

Sekolah ketiga yang aku tunjukkan pada anakku Adi, adalah Pondok Pesantren Darul Hikmah di Kutoarjo. Pondok Pesantren Modern yang dirintis oleh keluarga Bustanil Arifin itu, berlokasi di Jl. Brigjend Katamso, Gunung Tugel, Kutoarjo-Purworejo. Berdiri sejak tahun 2000. Pondok Pesantren Darul Hikmah menyelenggarakan pendidikan SMP dan SMA.
Ketika bertemu Bapak Rusmanto, yang akrab dipanggil Pak Nanang-staf pondok, aku mendapat informasi banyak tentang konsep pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hikmah yang mengedepankan pencapaian akhlak dan pengetahuan

Mantap belajar di Pondok
Dari ketiga sekolah bernuansa islami itu, anakku berketetapan memilih bersekolah di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Alasan anakku, disamping sistem pendidikan yang islami, letaknya tidak terlalu jauh dan transportasinya mudah, bahkan jika ditempuh dengan angkutan umum.
Hari seleksi santri barupun tiba. Aku dan seluruh keluarga, berangkat untuk mengikuti seleksi. Sistem seleksinya, ada materi yang melibatkan wawancara dengan orang tua/wali santri. Seleksi berlangsung selama lebih dari 12 jam, dimulai i jam 08.00 hingga malam. Ini adalah pengalaman yang sangat mengesankan. Bagaimana tidak? Sistem seleksi santri siswa baru diikuti oleh santri beserta keluarga, termasuk anakku terkecil, Nadiyyah, yang baru berusia enam bulan juga ikut terlibat.

Tiba giliran hari pengumuman penerimaan santri,Alhamdulillah, Adi anakku termasuk bagian kecil dari pendaftar yang diterima. Sementara itu,  aku tahu, lebih dari separoh pendaftar yang tidak diterima. Aku bersama anakku melakukan sholat berjamaah. Dalam do’a lirihku kepada Allah: “Terimakasih ya Allah, Kau telah memberi anugerah pada anakku, dan juga keluargaku. Bukakanlah pintu hikmahMu pada anakku”

Bulan-bulan pertama di pondok, merupakan pengalaman baru bagi Adi. Dengan berbagai upaya dan do’a semoga anakku dapat menyesuaikan dengan irama kehidupan santri di pondok pesantren. Dalam perkembangannya, aku melihat perubahan mendasar pada akhlak dan perilaku anakku. . Dari keterangan Adi yang aku tangkap, implementasi pendidikan akhlak di pondok pesantren modern dilakukan dengan menggunakan banyak cara,  diantaranya melalui:  (1). Keteladanan Kyai dan guru. Sikap perilaku santri di pondok, sangat tergantung dari apa yang biasa mereka lihat dari kyai dan gurunya. Seperti halnya, ketika di rumah, seorang anak pastilah akan mencontoh sikap dan perilaku ibu-bapaknya. Bagi anak-anak, orang tua merupakan madrasah pertamanya. Begitu juga, perilaku santri di pondok  (2). Pembinaan Intensif dan terus menerus. Kehidupan di pondok pesantren memungkinkan santri dan kyai/guru berinteraksi selama 24 jam. Interaksi ini dapat menjadi proses pembudayaan aturan dan norma yang efektif  (3) Pengajaran di kelas dan asrama  (4) Motivasi dan dorongan (5). Pembiasaan dengan penguatan program. (6). Reward dan Punishment.(7). Nasihat.( 8). Pendampingan melekat.( 9) Penugasan dalam organisasi. (10). Praktek langsung di tengah masyarakat (11) Penciptaan lingkungan yang kondusif. (12) Penerapan aturan dan tata tertib yang memiliki karakter tegas, manusiawi, tidak membebani, edukatif, syar’i dan bertahap.

Fokus menghadapi ujian akhir SMP
Pada tahun-tahun terakhir di SMP, aku melihat Adi anakku, sudah menikmati kehidupan di pondok pesantren. Pondok pesantren sudah merupakan tempat yang menyenangkan, sehingga membuat orang akan betah tinggal di dalamnya. Dalam konteks dunia pendidikan, kelas merupakan ruang yang sering ditempati siswa. Di sinilah siswa memperoleh ilmu, dan di sini pula siswa berinteraksi dengan guru dan siswa yang lain. Harapan­nya, seperti yang diharapkan fihak sekolah,  kelas itu dapat menjadi surga, tempat yang nyaman untuk belajar dan menambah pengetahuan sehingga siswa betah tinggal di dalam kelas. Aku sudah membuktikannya pada anakku. Dalam kesempatan libur sekolah, dua bulan sekali santri dapat pulang ke rumah, namun seringkali Adi menjalaninya lebih banyak di pondok. Baru saja sampai di rumah, sudah harus pamit pergi, karena ada kegiatan di pondok. Aktivitas dan suasana di pondok telah membawanya lebih nyaman di sana.

Mandiri di jenjang SMA
Setelah lulus SMP Pondok Pesantren Darul Hikmah, anakku Adi berkeputusan meneruskannya di SMA yang sama. Tidak seperti ketika Adi masuk SMP dulu. Masuk di SMA Pondok Pesantren Darul Hikmah hampir tanpa masalah. Tidak banyak melakukan penyesuaian, karena lingkungan belajar, pergaulan antar siswa dan para guru, sistem pendidikan dan tata aturan kehidupan pondok tidak banyak berubah. Dengan kondisi lingkungan sekolah dan kenyamanan belajarnya, di SMA Adi tumbuh lebih mandiri. Dapat mengelola sendiri kebutuhan dan aktivitas belajar, ibadah dan amaliahnya. Dapat menjadi contoh dan semangat bagi adiknya. Bahkan, Bagas adiknya, terinspirasi ingin meneruskan jenjang SMP-nya juga di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Alhamdulillah. Kemajuan dalam prestasi maupun aktivitasnya di SMA makin menonjol. Adi aktif di organisasi OSDH-Osisnya Darul Hikmah, PMI Kabupaten Purworejo. Dari prestasi akademiknya, sejak kelas satu SMA sudah masuk 10 besar. Di kelas dua, bisa ranking satu.

Bersiap menghadapi ujian akhir SMA
Masuk di kelas tiga, dia makin serius. Adi bersiap menghadapi ujian akhir dan menyiapkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Terbukti prestasi akademik dan kematangan pribadinya makin mantap. Terutama sejak ada penjurusan di kelas XI dan XII. Pernah suatu saat berkesempatan pulang, dia mengutarakan minatnya. Selanjutnya kamipun terlibat dialog. “Mulai semester depan, aku di kelas sudah mulai penjurusan. Menurut Bapak, aku harus mengambil jurusan IPA atau IPS ya?” pertanyaannya membuka pembicaraan. Aku menjawabnya dengan balik bertanya “Menurutmu, diantara jurusan IPA dan IPS itu, Adi menaruh minat yang mana?”. Sesaat dia diam, sepertinya dia sedang bimbang. Kemudian pandangannya mulai fokus “Menurutku, aku lebih cocok ke IPS, banyak pelajaran di jurusan itu yang menarik minatku. Tetapi jujur, rasanya jurusan IPS itu dipandang kurang keren!” Untuk meyakinkan bahwa aku mendukung pilihanya, maka aku segera menyambutnya. “Bagus itu, artinya Adi sudah memilih. Yakinlah dengan pilihanmu, Insyaallah kita akan sukses. Orang IPS yang berprestasi dan sukses banyak. Itu hanya menyangkut minat terhadap ilmu. Kalau Adi berminat dalam bidang-bidang ilmu sosial dan kemanusiaan, ya di jurusan IPS lah tempatnya!” Aku kemudian memberi motivasi kepadanya, bagaimana mudahnya seseorang melakukan sesuatu, termasuk belajar atau mencipta, jika seseorang itu didorong oleh rasa suka!

Kembali dari pondok dengan Alhamdulillah
Ini mungkin buah dari keseriusan memupuk hobi terhadap ilmu yang diminati. Selama semester XI dan XII prestasi akademiknya tergolong cemerlang. Dia selalu ranking pertama di kelasnya. Aku ingat dia menerima hadiah atas prestasinya itu dari sekolahan, juga dari KPRI Husada-yang memberikan hadiah bagi siswa dari keluarga anggota, yang meraih predikat peringkat pertama pada periode kenaikan kelas. Hingga puncaknya pada pelaksanaan kelulusan, baik dari hasil Ujian Nasional (UN) maupun Ujian Sekolah (US). Adi meraih nilai yang menggembirakan, menerima penghargaan Lulusan Terbaik Jurusan IPS!
Aku berkesempatan mendampingi anakku Adi saat menerima penghargaan itu, 22 Mei 2016; bertepatan dengan acara pelepasan santri SMA Darul Hikmah Angkatan X. Aku sempat bisikkan ketelinganya “Alhamdulillah. Allah Maha Kuasa atas segala upaya manusia, untuk itu Tetaplah semangat”

  

  

No comments:

Post a Comment