Saturday, October 23, 2021

KEMIREN: Desa adat dan jiwa bersaing

 * Ketika berkesempatan bertemu dengan Kades dan mantan kades yang juga sesepuh adat Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Ahmad Abdul Fahrin, saya sempatkan berbincang, sambil menikmati sajian kopi _arabica_ khas Kemiren. Asal kata desa kemiren, adalah _kemirian_ yaitu karena desa ini dulunya adalah lahan luas yang banyak tumbuh pohon biji kemiri, sejenis rempah dapur yang kerap digunakan untuk bumbu masak. Mata pencaharian utama warga desa kemiri adalah petani. Warga desa kemiri merupakan keturunan osing, yang merupakan suku asli di Banyuwangi. Hingga Saat ini, keturunan suku osing banyak terdapat di sembilan Kecamatan, termasuk di Desa Kemiren Kecamatan Glagah. 

Desa adat

Sebagai desa adat, masyarakat desa kemiren masih memiliki, memelihara, kebiasaan, tradisi yang menjadi budaya para tetangga adat osing. Seperti gerabah, lampu, tempat tidur hingga perabot dan bentuk rumah. Para tetua adat dengan kesadaran dan rela hati menjaga dan menanamkan nilai budaya Osing kepada anak cucunya. Banyak norma yang tidak tertulis, namun sangat diyakini masyarakat. Seperti tradisi sarung pulikat hitam dan baju putih ketika menghadiri _kenduri_ atau selamatan. Tradisi tahunan _mepe kasur_ merah-hitam di depan rumah. Hingga kerasnya tekad masyarakat Osing memperjuangkan harapannya, seperti yang tersurat dalam _lelagon_: "klambi cemeng seloan cemeng, dikumbah moso lunturo. Bapak seneng emak seneng, dicegat moso munduro". 

Implementasi sikap mental ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Osing di Desa Kemiren, yang suka tantangan terbuka. Sejatinya tercermin dari arti kata lain Kemiren, yaitu _irian_, siap bersaing, siap menang. Sikap mental ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Osing di Desa Kemiren, yang suka tantangan terbuka. Sejatinya hal ini mencerminkan makna lain dari kata Kemiren, yaitu _irian_, siap bersaing, siap menang. Masyarakat osing merasa tertantang dan lebih bersemangat untuk berkontribusi secara lelang atau _bantingan_ mereka tidak ingin iurannya lebih rendah dari rekan lainnya. Meskipun, diakui sesepuh adat ini, bahwa tidak selalu begitu dalam hal iuran-iuran wajib ke desa. 

 Pintu masuk sendang seruni

Banyuwangi, 21 Oktober 2021

Tuesday, April 6, 2021

Menulis Kebencanaan di Media: Meluruskan Jurnalisme Bencana

Ketika ada bencana, banyak media menulisnya. Bahkan semua media menulisnya, meskipun beritanya terkesan diulang-ulang, karena dari sumber berita yang sama. Keterlibatan media dalam pemberitaan bencana bisa jadi merupakan bentuk kepedulian social. Namun ada juga yang berorientasi bahwa kejadian atau peristiwa bencana memiliki nilai jual secara ekonomis. Terlepas dari kepedulian sosial atau motif lainnya, bencana menjadi  headline setelah  terjadi. Banyak media menuliskanya di halaman utama, dengan tulisan dan warna yang mencolok, dengan ukuran yang sangat besar, bahkan satu halaman penuh dengan gambar full colour dengan harapan dapat menyedot perhatian pembacanya. 

Namun tidak banyak media mengulas, tanda-tanda bencana sebagai kesiapsiagaan bencana serta upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat di lokasi terdampak serta memberikan edukasi luas tentang kesadaran "menjaga alam". Berita atau tulisan-tulisan dianggap kurang menarik. Beberapa awak media mengambil posisi pandang bahwa bad news is good  news. Akibatnya tulisan kebencanaan berisi hal-hal yang ngeri dan menakutkan. Media masih banyak  mengejar sensasi  dibandingkan  substansi. Kecenderungan lain yang masih sering terlihat di depan mata, bahwa terkesan media telah meninggalkan korban sendirian, setelah diekspos habis-habisan kesengsaraannya. Media gagal  mengawal penanganan pasca bencana dengan pembangunan lebih  baik, sebut saja misalnya  konstruksi  tahan gempa pada fase pascabencana.

 Kesenjangan antara harapan  terhadap peran dan  tanggungjawab media dengan  praktik ideal sebuah media pemberitaan inilah yang  memicu munculnya kecaman dan kritik keras publik terhadap  pemberitaan tentang bencana. Kita pernah mendengar suatu daerah bencana ditutup dan melarang masuk tim liputan media atau adanya perlakuan kekerasan yang dilakukan terhadap media. Kondisi semacam ini, sesungguhnya sangat menyedihkan. Jurnalisme telah berbelok! Hingga akhirnya masyarakat tidak lagi menganggap media sebagai teman baik yang dapat menolong menyuarakan kebaikan dan kemuliaan. Pemberitaan bencana sering terjebak pada kejadian dan sensasi publik.

Menutup kekurangan

Saatnya meluruskan makna jurnalisme kebencanaan. Tidak mudah, namun ada jitu strategi yang dapat ditempuh. Pertamamenanamkan konsep  kesiapsiagaan bencana pada awak media: praktik di Nagoya, pertemuan rutin tiap  bulan antara media, akademisi dan pemerintah  untuk mendiskusikan DRR. Kedua mainstreaming wacana  DRR dengan langsung menulis di media. Sayangnya strategi ini banyak kelemahanya. Baik dari segi kemampuan menulis dan harus bersaing dengan penulis dan tema-tema yang menarik lainnya. Namun dalam strategi ini jurnalisme bencana harus mewacanakan kesiapsiagaan pada setiap tahapan bencana. Pada tahap prabencana hal yang tidak boleh dilipakan adalah mengingatkan warga  terhadap ancaman tujuannya untuk  mendorong kesiapsiagaan.. Pada  Saat bencana harus senantiasa fokus pada korban  selamat, kelompok terentan, dan  membangkitkan semangat korban. Pada fase pascabencana, media harus mengawal proses  rekonstruksi dan rehabilitasi agar tidak  menjadi bencana baru. Ketiga,  mewacanakan  langsung DRR di  media sendiri Keempat,  Mewacanakan DRR melalui kekuatan sosial media Sebuah media yang cepat dan murah saat  tanggap darurat, Menggalang solidaritas dengan cepat, Memanfaatkan crowd untuk  pemetaan

Praktek menulis kebencanaan di media

Melaporkan kejadian atau peristiwa bencana secara memadai (5W+1H)

Mengurai kejadian secara komprehensif, sehingga memberi gambaran menyeluruh tentang kejadian bencana (MPT)

Mewacanakan DRR dalam tulisan

Pada fase Pra-Bencana tulisan mendalam atau kajian mengenai tanda-tanda, karakteristik khas, kesiapsiagaan, serta hal-hal  yang harus diperbuat. Pada fase Bencana tetaplah Fokus pada cara-cara menolong korban  selamat, kelompok terentan, dan  membangkitkan semangat korban. Pada fase pasca Bencana Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rekonstruksi dan rehabilitasi agar tidak  menjadi bencana  baru/berikutnya


(* Disampaikan pada Forum Jurnalisme Kebencanaan bagi Tenaga PUSDALOPS BPBD Kebumen, Rabu 7 April 2021