Thursday, March 28, 2019

Ekspedisi Tanjung Puting

Ini adalah rangkaian kegiatan diklat kepemimpinan dalam session "
cultural and social observation" Perjalanan  bermula dari dermaga tanjung puting, pangkalan bun, kalimantan tengah, kami menyusuri sungai sepertinya ke arah hulu. Dengan menggunakan kapal, sudah satu jam perjalanan pemandangannya sangat eksotik, hijau dan alami. Kanan kiri sungai kumai ini ditumbuhi tanaman nipah. Makin ke hulu, tanamannya makin bervariasi pepohonan hutan di pedalaman kalimantan. Sesekali kami melihat sekelompok  kukang bergelantungan di atas pohon. Kukang-kukang itu sepertinya makan daun muda, bunga hingga jenis buah-buahan hutan.

Selamat datang di Desa Sikonyer
Setelah perjalanan dua jam menyusur sungai, sampailah saya di desa sungai sikonyer. Warna air sungai tidak lagi biru, bening, namun berwarna coklat. Mungkin karena air tawar keruh, akibat banyak akar pohon yang terendam. Ada bangunan dari kayu yang dicat putih biru menyerupai pintu gerbang desa, di pinggir sebelah kiri badan sungai. Tidak seperti di hilir yang berair laut hingga payau. Di hulu sungai, air sungai sudah tawar. Tumbuhan pun terlihat lebih bermacam-macam jenisnya. Lebih ke hulu lagi, kami jumpai ada perahu parkir. Sepertinya perahu pengunjung "Rimba Lodge and Restaurant".

Di menit ke 150, kami bertemu kapal dari arah yang berlawanan. Terlihat dua turis asing, melambaikan tangan ke arahku. Akupun membalas lambaian tanganya sembari tersenyum. Sementara tanganku terus menulis laporan perjalanan ini. Makin ke hulu, lebar badan sungai seperti menyempit, dengan sesekali berkelok. Kami bersama 30 orang lainya,  rombongan diklat dari Semarang. Sebagian besar, mereka tertidur karena terlelap dibuai halus suasana alam hutan. Dan mereka bangun, ketika bocah awak perahu, yang bercelana pendek itu memberi isyarat dengan membawa baki berisi pisang goreng, dan dua ketel berisi teh dan kopi. Kamipun semua, seketika bangun. Kemudian menyantap pisang goreng panas yang dipotong kecil. Dengan dua gigitan sepotong pisang goreng itu habis. Hingga datang paket pisang goreng susulan. Tidak lebih dari 10 menit, hidangan itupun habis! Dalam sekejap, hidangan itupun habis. Bahkan ketika bocah awak perahu itupun mengemasi piring-piring itu. Bersih Tak bersisa!

Udarapun mulai terasa lebih sejuk. Sesekali angin bertiup agak kencang dari lambung perahu. Kicau burung bersahutan, dengan warna-warni biru-orange-hitam, terasa seperti melihat lukisan alam. Sangat indah.Tidak lama berselang, rombongan bertemu dengan dua perahu motor tempel. Melaju dengan kecepatan penuh. Sekilas terlihat dari atas perahu, dua perahu motor tempel itu membawa barang dagangan. Sepertinya mereka seorang pedagang.


Memasuki hutan Kalimantan

Setelah kurang lebih perjalanan menempuh tiga jam, 16 menit, kamipun sampai di suatu tempat pendaratan perahu. Kamipun turun dan memasuki hutan.. Setelah berjalan masuk hutan sejauh dua kilometer dengan melewati jembatan kayu yg ditata apik, dan jalan tanah sedimen, pasir putih kamipun sampai di "rumah" orang hutan. Hewan yang dilindungi, menjadi ciri khas daerah tanjung putting. Dengan sebuah panggung papan kayu ulin, kurang lebih seluas 6 m2, diletakkan beberapa buah pisang. Tempat itu dijadikan tempat berjemur, bermain dan menyusui bagi para orang hutan.
Sepertinya tempat ini sengaja dibuat sebagai tempat "laktasi orang hutan.


 Waktu bermain dan menyusui di tempat itu, tidak lama. Berkisar dari jam 09.00-11.00. Dan benar, sekitar jam 11.15 orang hutanpun mulai masuk ke dalam hutan. Dibalik rimbunya tanaman hutan, kita tidak tahu apa yang dilakukan orang hutan selanjutnya. Namun orang-orang yang "bertamu" menyaksikanya, harusnya berubah pola parentingnya. Karena sesungguhnya menyusui itu, tidak sekedar memasukkan makanan, air susu ke anak bayinya. Namun, lebih dari itu, sang ibu sedang memberi makan jiwa anaknya dengan kasih sayang. Sehingga tidaklah heran, jika anak sekarang banyak yang tumbuh besar, berpenampilan menarik, namun keropos moralnya. Karena si-anak hanya diberi makan fisiknya, namun tidak jiwanya.

Cokroaminoto
Tanjung puting, 28 Maret 2019