Wednesday, May 11, 2016

Keluarga adalah cermin

Aku lahir di Pekalongan, di bulan Nopember 1966. Di sebuah dukuh pesantren, desa Pakisputih Kecamatan Kedungwuni, aku dibesarkan dan hidup bersama orangtua dan keluargaku. Aku dibesarkan dalam keluarga sederhana, ayahku seorang pegawai rendahan di sebuah kantor pemerintah. Tugasnya, yang aku tahu sehari-harinya memeriksa pintu-pintu air di sepanjang aliran sungai simbang yang menjadi wilayah kerjanya. Jika pagi buta berangkat, maka sore harinya setelah Ashar ayahku baru pulang. Hari minggu, ayahku libur. Waktunya ayah gunakan untuk menggarap sepetak sawah atau memperbaiki perabot yang rusak.

Dari lingkungan sosial pedagang
Sementara ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang sesekali berjualan sayuran di pasar desa. Rumah ayahku, memang tidak jauh dari pasar. Jarak dari rumah ke pasar  kurang dari 400 meter, sehingga sesekali ibuku memanfaatkan waktunya di rumah untuk berjualan di pasar. Mengikuti kebiasaan lingkungan sosial yang sebagian besar masyarakat sebagai pedagang di pasar. Setiap hari di depan rumah ayahku, ramai berlalu-lalang penjual dan pembeli ke pasar. Pasar desa di daerahku, ramai dan buka setiap hari. Setiap pagi, aku menyaksikan transaksi di pinggir jalan depan rumah, antara penjual dengan para bakul tengkulak yang akan membeli barang dan menjualnya di pasar. Barang dagangan yang diperjualbelikan, rata-rata hasil pertanian dan kebutuhan sehari-hari.

Menjelang tengah hari biasanya jual beli sudah mulai sepi. Para pedagangpun sudah mulai pada pulang, termasuk ibuku. Ibuku pulang biasanya sambil membawa untuk anak-anaknya, jajan pasar dan kebutuhan dapuruntuk masak siang hari. Sementara aku dan kakakku sudah memasak nasi di rumah.

Keluarga yang menginspirasi
Dalam keluarga, aku hidup bersama ayah, ibu, dua kakak lali-laki dan seorang kakak perempuan. Aku memiliki dua orang adik, semuanya lali-laki. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi cermin hidupku. Bagiku, mereka sangat menginspirasikan banyak hal tentang konsep dan semangat hidup, sikap dan perilaku.
Ayahku merupakan anak dari Tasidjan,kakekku. Dalam hidupnya, ayahku adalah kerja dan kerja untuk mencapai suatu tujuan. Kehidupannya banyak menginspirasikan tentang keberanian, tekad yang bulat dan tidak setengah-setengah. "kalau kamu berani, maka jangan takut-takut. Tetapi jika kamu takut, jangan pernah berani coba-coba" Ia senantiasa bersemangat untuk terus bekerja tanpa berhitung imbalan. "Rezeki itu wujudnya harus kita raih dengan melakukan sesuatu".  Dalam keyakinan ayahku,  "Allah telah menyiapkan imbalan itu sebanding dengan upaya dan kerja keras yang kita lakukan". Demikian sepenggal pesan yang sering disampaikan pada anak-anaknya.
Ibuku yang pemeluk teguh
Ibuku, di mataku adalah seorang pemeluk teguh. Karena keteguhannya kadang terkesan "cerewet" akan sesatu hal. Tujuannya, agar anak-anaknya senantiasa percaya dan selalu ingat pada Tuhan-Sang pemberi hidup. Bagi ibuku, dimana dan kapanpun kita berada, sebenarnya tidak ada yang lepas dari kuasa Allah. "Sehingga jika kita berserah diri, maka tenteramlah jiwa kita" demikian ibuku sering membisikkan kata-kata itu padaku. 

Dalam kondisinya yang sakit, puluhan tahun lamanya. Ibuku tidak banyak beraktivitas. Lebih banyak berbaring, diam tapi tidak tidur.  Karena selama itu pula, ibuku mengalami gangguan tidur. Tetapi, dari mulutnya, bibirnya komat-kamit tidak hentinya berdzikir, melantunkan kalimat thoyibah. Dari mulutnya berucap kalimat thoyibah.
Kakak yang pembelajar
Kakak pertamaku, Bambang Cahyono, adalah seorang pembelajar. Kalau tidak disebut sebagai kutu buku. Karena memang tidak banyak buku. Tetapi dia akan menghabiskan bacaan apa saja yang ada di depannya. Tidak terkecuali mengisi buku Teka-Teki Silang. Meskipun hanya  berkesempatan mengikuti pendidikan dasar, itupun tidak sampai selesai. Ijazahnya diperoleh melalui ujian-ujian persamaan, Kakak pertamaku sangat haus informasi dan ilmu. Sering dia menyatakan:  "Tuntulah ilmu, karena ialah yang akan menyelamatkanmu" Di jaman yang maju, hanya sedikit orang yang dapat bertahan. Yaitu orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Teruslah belajar,, maka kamu akan menjadi seperti mutiara. Mutiara itu barang bagus, yang dicari orang" Itu pesan kakakku yang terlontar ketika mengajak aku belajar.

Dan dari tangan dinginnyalah aku, kakakku dan adikku dapat menyelesaikan pendidikan yang memadai. Setiap malam, dialah yang mengarahkan kami untuk belajar. Membuat garis bidang pada halaman buku tulis, untuk tempat aku mengerjakan tugas mata pelajaran. Agar aku menulisnya tidak secara acak dan meloncat-loncat halamanya. Kakakku yang satu ini terkenal disiplin.
Kakak perempuan yang taat pada syari'at
Berpeganglah kuat pada syari’at. Demikian yang sering diucapkan kakak perempuanku, Tarmonah. Seperti ibuku,  ia sering terlihat sedih hingga berurai air mata. Dengan sesekali menyeka mata, sambil menghentikan isak tangisnya, ia sering sedih ketika memikirkan saudara-saudaranya. 

Yang  membuatnya sedih jika ada orang yang tidak melaksanakan kewajiban  dan tidak mengikuti ajaran agama. "Hidup di dunia, tidak lama. Dan akan berakhir secara tiba-tiba. Tidak pernah ada yang menduga. Amal ibadahmu yang akan menyelamatkanmu" itu kata-kata yang sering keluar dari mulutnya.
Romantis dan kuat dalam komitmen
Hangatlah dengan keluarga” Demikian filosofi kakak laki-lakiku yang kedua. Orangnya romantis. Sepertinya dalam dirinya banyak mengalir jiwa seni. Termasuk seni dan pengalamannya menikmati hidup. Mengapa begitu? Aku pernah menanyakan tentang filosofi itu. Menurutnya, karena kehidupan di luar sana, tidak selalu ramah. Bahkan teramat keras. Pada saat itulah, keluarga meanjadi tempat berteduh yang nyaman.
Adik-adikku yang konsisten.
Adikku yang konsisten memegang komitmen dalam keadaan apapun. Banyak cobaan hidup yang dihadapi dua adik lali-lakiku. Sejak dari masa sekolah, remaja, hingga ia berkeluarga. Namun, aku melihat bagaimana ia menghadapi masalah dengan senantiasa memegang teguh komitmen. Baginya kepercayaan orang lain dan kejujurannya adalah harga mati.
Itulah orang-orang dalam keluarga  yang banyak menginspirasikan hidupku, hingga suatu saat aku harus “keluar rumah”.

No comments:

Post a Comment