Wednesday, May 11, 2016

Istriku, matahariku

Tidak ada keraguan:  itu yang membuatku berhasil. Ini mungkin saat berakhirnya masa kegelapanku, ketika aku seperti menemukan setitik sinar. Setitik sinar itu tak lain adalah isteriku. Setelah lebih kurang lima tahun mencari sosok wanita idaman. 

Awalnya mengenal dari kata-kata
Awalnya aku mengenal dan memperoleh gambaran isteriku itu hanya dari kata-kata dan sebuah pas photo. Yu, demikian panggilan singkat istriku, lahir di Caruban, Adimulyo, Kebumen, pada tanggal 25 Juni 1973. Saat itu, isteriku sedang menempuh studi di Kota Jogja. Sedangkan aku, berada di kecamatan Karangnyar Kabupaten Kebumen.

Jarak tempuhnya dari tempatku tinggal menuju ke Jogja, kira-kira 2-3 jam perjalanan menggunakan angkutan bus. Dengan pertimbangan tidak ingin mengganggu studinya, aku memilih mencoba berkomunikasi melalui surat pos kilat khusus. Surat pertamaku terbalas. Hingga berlanjut surat-surat berikutnya. Akupun mulai akrab, hingga terbersit perasaan rinduku mengantarkan surat-suratku padanya. Betapa hari-hariku selanjutnya adalah memelihara perasaan menantikan balasan surat-surat dari isteriku. Perasaanku campur aduk!

Liburan itu saatnya aku melihatnya pertama kali
Suatu saat, ketika liburan, aku mencoba bersilaturahmi ke rumah isteriku. Sepertinya dadaku berdetak tidak teratur. Sedang menahan perasaan yang mengguncang dada. Sepanjang jalanku, aku terus bermunajad dalam hati. "Ya Allah jika memang ini jodohku, maka mudahkanlah aku untuk meraihnya". 

Setelah sampai di rumah, tidak ada siap-siapa, yang menerimaku adalah ibunya.  Bersyukur, diperkenankan masuk oleh ibunya, Ibu  Sur, demikian nama panggilan beberapa kali aku pernah mendengarnya. Kaku juga awalnya, aku mulai mengenalkan diri pada ibunya, juga menyampaikan beberapa informasi tentang data diri. Ya maklumlah, orang tua harus mengetahui siapa teman , sekaligus menjaga keamanan anaknya.

Sinar terangnya sampai ke hati
Sejurus kemudian, ibunya mempersilakan aku duduk, kemudian ibu masuk. Lirih aku mendengar ibunya memanggil anaknya untuk menemuiku. "Alhamdulillah, artinya aku bisa menemuinya" pikirku dalam hati, karena biasanya orang tua tidak memperkenankan anak putrinya keluar, jika situasinya tidak aman. 

Dan Subhanallah, aku beradu pandangan dengan wanita yang sekian lama aku banyak berimajinasi dan menggambarkanya lewat foto kemudian aku menghiasnya dengan kata-kata, angan dan mimpi-mimpi. Aku seperti diguyur sumur sewindu. Sejuk. Aku melihat matahari itu sangatlah dekat. Sinar terangnya sampai ke hati.

Menunggu hingga selesai studi
Meskipun pertemuan itu tidak lama, karena liburnya hanya sehari. Tetapi hubungan komunikasi itu tetap berlanjut. Walaupun harus kembali ke cara terdahulu, melalui surat, namun sepertinya aku tidak canggung lagi. Walau hanya bertemu sekali, namun rasanya lewat kata-kata aku sudah membawanya berjalan dan menempuh rute yang sangat panjang. Kami saling bercerita, dan membagi pengalaman. Walaupun, diantara kami, terutama aku  belum menyatakan perasaan satu sama lainnya. Keadaan ini berlangsung hingga istriku menyelesaikan studinya. 

Selesai studi, istriku mengambil kontrak kerja di RS swasta di Jogja-RS tempat istriku bersekolah. Kontrak kerja itu lamanya tiga tahun, jika akan diperpanjang, dapat diurus pada tahun periode kontrak selanjutnya. Melihat posisinya sudah bukan anak sekolah lagi, aku makin serius mendekatinya. Ini sesuai pesan ibunya, ketika menerimaku untuk kali pertama dan terakhir. Karena tidak lama berselang aku berkunjung, ibu Rr. Soertijah sakit hingga meninggal dunia. Ibu Surtiyah, demikian aku memanggil namanya hingga menyebutnya dalam doa-doaku. Kala itu beliau berpesan kepadaku, hubungan saat ini cukuplah saling mengenal, kecuali jika nanti sudah lulus. 

Status hubungan membuat pasang-surut
Status hubungan komunikasi dengan istriku, pernah mengalami pasang-surut. Karena masing-masing sedang meyakinkan pada fihak lainnya, serius dan tidak main-main. Hingga suatu saat, dengan segenap jiwa dan perasaanku, aku raih hatinya. Aku katakan, aku mencintainya. Aku sangat merindukannya. Pada waktu itu, aku tidak ingin tahu apa jawabanya. Yang penting, dengan seluruh keyakinan, aku sudah mengungkapkan isi hatiku padanya.

Udara sore kota Jogjapun berasa sejuk, hingga aku mengerti bahwa istriku menerimaku. Tanpa sadar, sudut-sudut mataku seperti berlinang air mata. Sebersit muncul rasa syukur, betapa Allah telah menghadirkan seorang wanita kepadaku. Sejurus kemudian, malampun turun, menyelimuti daerah Sagan Wetan-kota Jogja. Tiba saatnya, aku harus pulang, untuk kembali ke Kebumen. Malam itu, adalah malam bersejarah. Perjalanan pulang paling mengesankan dengan berbagai macam perasaan yang bercampur seiring laju bus malam Mandala jurusan Malang-Tasikmalaya.


Aku harus mengakhiri dengan meresmikannya
Hubunganku berlanjut, manun ada yang kurang nyaman. Mengapa begitu? Soalnya statusku dan juga istriku posisinya sudah "tidak muda" lagi. Sehingga aku berfikir untuk segera mengakhiri status itu dengan meminangnya. Aku segera menikah. Karena hubungan yang tidak resmi sering mendatangkan fitnah dan dapat berbahaya.

Dalam pandanganku, Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat yang berbentuk pernikahan. Pernikahan yang benar dalam islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki 

Tahun pertama: masa adaptasi
Tahun-tahun pertama setelah pernikahan, merupakan masa sulit bagiku. Tahun-tahun pertama menikah merupakan tahun-tahun adaptasi dalam segala hal. Kepribadian, keluarga, saudara, lingkungan sosial, keadaan fisik rumah, kebutuhan harian dan masih banyak lagi. Meskipun sebagian orang menganggapnya sebagai masa bulan madu, menandakan romatisme, kesan akan manisnya hari-hari yang akan dilalui. Apalagi bagi pemuda dan pemudi yang sebelumnya ”berpuasa” menahan diri dari romantisme dan pacaran yang tidak halal, tidak heran jika bayangan bulan madu sedemikian menjanjikan bagi mereka.
Namun, jika itu yang kita bayangkan dan tidak mengantisipasi kenyataan, maka kita akan terkejut. Bulan madu pasti indah, namun jangan pernah lupa bahwa ini dunia fana, hanya sementara. Pernikahan, layaknya dua manusia bersatu dalam sebuah lembaga norma, akan mengalami pasang dan surutnya gelombang kehidupan. Itu pasti. Untunglah senantiasa aku ingat arti doa yang disunnahkan dibacakan untuk pengantin:
Semoga Allah berkahi kalian berdua dalam masa bahagia dan smoga Allah berkahi kalian berdua dalam masa sulit dan semoga Allah selalu himpun kalian berdua dalam kebaikan (di dunia & di Akhirat).

Dari doa yang diajarkan oleh Nabi kita SAW ini jelaslah bahwa pasangan suami istri akan mengalami masa bahagia dan juga masa sulit. Yang terpenting adalah selalu hadirnya keberkahan dalam situasi seperti apapun dan juga penting untuk selalu ”berhimpun dalam kebaikan”. Apapun masalah yang muncul dan terjadi dalam keluargaku. Aku dan istriku sepakat untuk membahas dan menyelesaikannya di “dalam rumah” untuk memperoleh jalan terbaik.
Ketika upacara dan tasyakuran sudah usai,kursi- tenda sudah digulung dan dikemasi, kerabat yang datang sudah kembali ke rumah masing-masing, kado sudah dibuka, dan aku dan istriku tinggal hanya bersama keluarga terdekat istriku, maka adaptasi babak pertamapun dimulai. Banyak yang harus aku adaptasikan, dari perbedaan latar belakang sosial ekonomi, pendidikan, perbedaan usia, budaya, interaksi sifat-sifat pribadi, hingga perbedaan ideologi maupun pandangan-pandangan dalam agama. Sebagai contoh, sebelumnya aku tidak memperhatikan detil perbedaan selera makanan, gaya bersantai hingga  sikap terhadap waktu, dan masih banyak lagi. Pendek kata,  segala hal mungkin berpotensi menjadi masalah antara suami dan istri,jika keduanya tidak saling menyesuaikan. Karena hakekatnya persatuan dua insan pasti butuh penyesuaian. Lantas, jika segala hal dapat menjadi sebab persoalan, apakah itu berarti pernikahan yang aku lalui ini merupakan suatu langkah yang salah?
Tentulah tidak. Membaca dari syari’at Islam, menikah merupakan tuntutan fitrah, sehingga betapapun ada tantangannya, tetap saja pernikahan adalah kebutuhan. Persoalan adapatasi bukan suatu hal  yang menakutkan dan harus dihandari. Tetapi munculnya masalah, persoalan atau kesulitan itu mendidik kita untuk terus belajar memperbaiki diri menjadi lebih baik. Bukankan Allah telah menjamin, bahwa dalam kesulitan itu ada kemudahan.
Pribadi yang simpel, rasional dan jujur
Istriku aku kenal sosoknya sebagai pribadi yang simpel. Berfikirnya sederhana, tidak berbelit dan suka berterus terang. Keterusterangannya kadang membuat aku kaget. Tetapi di belakang hari, aku melihat banyak manfaatnya dari keterusterangannya itu. Aku dapat pelajaran yang banyak dari sikap istriku. 

Benar yang dikatakan Qur’an, bahwa jujur itu menenteramkan. Bayangkan saja, kata isteriku ketika suatu saat membahasnya. Betapa seseorang sekali berbohong, maka selanjutnya seseorang akan berkali-kali bohong, untuk menutupi kebohongannya tadi. Ini akan meracuni jiwa. Sehingga ketika jiwa seseorang itu kacau  dan  gelisah, jangan-jangan dia sedang berbohong atau menutupi kebohongannya! Hal ini persis isi ceramah pak Kyai kondang AA Gym, yang dikutip Dr HM Harry Mulya Zein, “Bohong itu adalah penjara bagi diri manusia,” betapa tidak, kebohongan akan membuat kita selalu was was, karena takut kebohongan  kita diketahui, kita pun kembali berbohong untuk menutupi kebohongan kita itu. Dan kebohongan baru yang baru saja kita reproduksi itu akan menjadi penjara baru. Demikianlah riwayat hidup orang yang dipenuhi oleh dusta atau tidak jujur dalam bentuk apapun. Orang –orang yang tidak menjaga dirinya dari kedustaan dan ketidakjujuran tidak akan pernah tenang dan tawadu dalam hidupnya.

Pemaaf dan dermawan
Ketika suatu saat marah, kemarahannya bisa meledak-ledak. Terutama jika menyangkut hal-hal yang prinsip. Pada saat seperti ini, aku biasanya memilih diam. Tetapi jika masalahnya sudah terselesaikan, akan reda kembali.

 Isteriku termasuk pribadi yang tidak menyimpan kesalahan orang lain. Bukan pribadi yang pendendam, namun sangat pemaaf. Suka pada hal-hal sederhana dan warna-warna coklat yang mencerminkan kesederhanaan. Dalam bertindak lebih banyak menggunakan ukuran-ukuran rasional. Tulus dalam menolong orang lain tanpa tendensi atau imbalan yang bersifat menguntungkan diri pribadi. Ketulusan dalam menolong orang lain bagi istriku menimbulkan kepuasan tersendiri yang tidak bisa digantikan oleh apapun.




No comments:

Post a Comment