Melalui berbagai regulasinya, pemerintah
sebenarnya telah demikian jelas mendudukkan posisi PNS sebagai profesi yang
netral dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil, dan merata. Hal ini sebagaimana diatur dalam
undang-undang pokok-pokok kepegawaian, yang ditetapkan sejak tahun 1999. Namun,
upaya ini belumlah nampak riil pada perilaku kerja PNS dalam pelayanan publik.
Potret
kinerja pelayanan publik
Laaporan Ombudsman Republik Indonesia
akhir-akhir ini, menengarai adanya kenaikan drastis keluhan masyarakat terkait
penyimpangan penyelenggaraan pelayanan publik. Pada tahun 2013, keluhan atas
kasus penyimpangan itu meningkat hampir dua kali lipat! Dari 2.209 laporan pada
tahun 2012 meningkat menjadi 4.359
laporan masyarakat pada tahun 2013. Jumlah itu meningkat 97,3 %, dengan lokus
terbanyak terjadi pada pelayanan Pemerintah Daerah, pelayanan di kepolisian, instansi
vertikal dan Badan Pertanahan (Pikiran
Rakyat, 2014). Selanjutnya dalam laporan itu, juga menyebutkan bahwa
penyimpangan pelayanan publik tersebut terjadi dalam bentuk konflik
kepentingan, permintaan uang, barang, dan jasa serta terjadinya mal-administrasi
pelayanan. Kerja
aparat dianggap lamban, adanya keberpihakan dan dinilai tidak kompeten.
Profesionalisme
dan netralitas
Jika kita perhatikan, potret kinerja
pelayanan publik di atas, mencerminkan bagaimana kondisi kinerja sesungguhnya
para aparat sipil negara kita sebagai penyelenggara pelayanan publik. Dari
bentuk penyimpangan pelayanan di atas, kita dapat mengerti, bahwa permasalahan
utama Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah masalah profesionalisme dan
netralitas. Kedua permasalahan tersebut, baik profesionalisme maupun netralitas
dapat saling mempengaruhi. Keduanya melekat pada aktivitas seseorang ASN.
Dalam hal profesionalisme, seseorang dikatakan profesional jika ia melakukan
pekerjaan dengan keahlian khusus dan menghasilkan produk layanan yang berkualitas, bertanggung jawab,
dan sistematis. Tingkat profesionalisme seseorang sebenarnya dapat diamati dari
apakah seseorang itu menyukai atau menikmati tugas yang ia kerjakan. Dari
tingkat rasa suka dan menikmati pekerjaan akan terpantul antusiasme dan kepeduliannya
dalam melayani klien atau masyarakat. Kedua hal itulah yang langsung dirasakan
dan dinilai oleh masyarakat, bahwa ia telah dilayani secara profesional atau
tidak. Telah terjadi mal-administrasi atau tidak. Oleh karena itu, jika kita
ingin membangun profesionalisme, kita bisa meminjam konsep David H.Maister
(1997) seorang penulis “True Profesionalism : The courage to care about your
people, your client, and your career”, bahwa profesionalisme itu sesungguhnya merupakan
perpaduan antara motivasi, inisiatif, komitmen, keterlibatan langsung dengan
pekerjaan dan antusiasme.
Netralitas
melahirkan keadilan dalam pelayanan
Permasalahan netralitas ASN sebenarnya tidak
hanya dalam konteks Pilkada atau proses suksesi kepemimpinan saja. Dalam
konteks yang lebih luas, netralitas ASN sering diuji ketika menyangkut SARA.
Rendahnya netralitas ASN dalam pelayanan publik sering kali berakibat munculnya
konflik kepentingan, keberfihakan dan pelayanan yang tidak merata, penyimpangan
prosedur dan tidak transparan.
Kesemuanya itu akan menyebabkan munculnya ketidakadilan dalam pelayanan.
Menunggu
realisasi reformasi birokrasi
Melihat besar dan luasnya persoalan dalam
sistem pelayanan publik, sebenarnya Pemerintahpun tidak tinggal diam. Upaya
yang dilakukan pemerintah sangatlah mendasar dalam bentuk Grand Disain
Reformasi Birokrasi, untuk mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance). Tujuanya adalah untuk
menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik,
berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik,
netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode
etik aparatur negara.
Melahirkan
Undang-undang ASN
Dari Reformasi Birokrasi melahirkan UU Nomor
5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menempatkan aparatur sipil
negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, menetapkan aparatur sipil
negara sebagai profesi dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen
aparatur sipil negara. Dengan kelahiran undang-undang
ASN memberi landasan manajemen pengelolaan dan pengembangan aparatur di
kemudian hari.
Berharap
dari implementasi merit system
Untuk
merealisasikanya, Pemerintah menerbitkan Permen PAN-RB No. 13 tahun 2014. Sesuai
Peraturan menteri ini, manajemen ASN dilakukan
sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan
tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul,
jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Sistem merit
ini dengan sembilan prinsipnya, akan mampu membangun terciptanya aparatur yang
memiliki profesionalisme dan netralitas tinggi dalam pelayanan publik.
Peran KORPRI ke depan
Sebagai
korps yang beranggotakan para profesi pegawai ASN, KORPRI ke depan memiliki
peran strategis, dalam menumbuhkembangkan profesionalisme dan menjaga netralitas
ASN dalam pelayanan publik, baik melalui upaya internal maupun eksternal. Secara
internal KORPRI paling tidak berperan membangun independensi, profesionalisme
dan netralitas. Sedangkan eksternal, KORPRI dituntut perannya dalam mendorong
Pemerintah mengimplementasikan prinsip-prinsip manajemen ASN dengan sistem merit, yang memungkinkan terbinanya
kinerja, profesionalisme dan netralitas ASN dalam pelayanan publik.
Dengan
demikian, harapan besar akan meningkatnya kualitas pelayanan publik, sebenarnya
masyarakat sangat menggantungkan harapan tersebut kepada KORPRI dalam memainkan
peranya dalam menumbuhkan profesionalisme dan netralitas ASN.
(* Catatan:
Arsip naskah lomba karya tulis
dalam rangka HUT KORPRI Kabupaten Kebumen
tgl 29 Nopember 2016, sebagai Juara I.
tgl 29 Nopember 2016, sebagai Juara I.
No comments:
Post a Comment