Setting tempat duduknya diatur menjadi tiga kelompok. Persis berhadapan dengan kelompok sesepuh dan pemuda desa Kajoran, ditempati sekelompok kidungan yang pelan melantunkan tembang-tembang macapat. Sementara saya diterima dan dipersilakan duduk di seberang area panggung bersama para tamu dan undangan. Diantara para tamu itu, saya bisa melihat beberapa pejabat, tokoh politik dan rombongan dari luar Kabupaten Kebumen.
Hingga tiba saatnya kirab budaya gunungan itu diberangkatkan menuju makam, saya baru tahu kalau tamu yang hadir hampir semua merupakan keluarga atau trah keturunan dari sesepuh Desa Kajoran. Gunungan itu diberangkatkan dengan diikuti secara berbaris rapih para ahli waris dan keturunan sesepuh Desa.
Kidungan: menceritakan sejarah hingga pesan moral
Ketika kelompok kidungan melantunkan tembang macapat terdengar syairnya berisi sejarah awal berdirinya desa Kajoran. Disela-sela tembang pangkur, dhandhanggula, sinom, kinanthi, mijil dan gambuh terselip petuah dan ajaran moral tentang semangat hidup dan nguri-uri adat dan budaya leluhur. Seperti yang dituturkan Sumbreng Ariyanto, sebagai Kepala sekaligus sesepuh Desa Kajoran.
Trah Kajoran: Terawat dan berkembang
Awal mula sejarah trah Kajoran tidak lepas dari keberadaan Eyang Lugu atau disebut sebagai Ki Danasari . Dalam kidungan pangkur dikisahkan oleh pak Kades Sumbreng sampailah perjalanan Eyang Lugu di sebuah lembah sunyi, namun berbahaya karena banyak binatang buas, penjahat dan para lelembut di sebuah Jurangjero yang dikelilingi bukit dan pegunungan. Dengan kerendahan hati dan keluhuran budi, Eyang lugu datang dan menyatu dengan masyarakat lumrah hingga dapat membangun komunitas sosial disana.
Di tembang-tembang macapat berikutnya pak Kades Sumbreng menceritakan perkembangan trah Kajoran. Melalui delapan anaknya dari dua isteri Eyang Lugu, yang kemudian dikenal sebagai Eyang Agung inilah trah Kajoran berkembang ke berbagai desa bahkan ke luar Kabupaten seperti Cilacap, Banyumas dan Purbalingga.
Hingga saat ini, penyelenggaraan upacara kirab gunungan setiap tahun itu, bukan sekedar melestarikan tradisi, namun juga upaya menyatukan kembali trah Kajoran yang tetsebar di mana-mana. Seperti dituturkan pak Kades Sumbreng dalam sebait suair tembang gambuh: "Sedaya guyub rukun, sesarengan arsa amemangun, trah Kajoran dimen bisaa lestari, anjunjung para leluhur, nglampahaken ingkang ilok"
.jpeg)
SAE pak Cokro, semoga bisa ditulis semua ritus dan tradisi yg ada
ReplyDeleteChusni
ReplyDelete