Tuesday, July 16, 2024

MASYARAKAT SASAK ENDE: Kuat menjaga tradisi


Memasuki desa Sasak Ende, Sengkol Kecamatan Pujut, Lombok Tengah adalah menikmati kekhasan budaya masyarakat Sasak yang terjaga. Beberapa bangunan dengan ciri tertentu mencerminkan tradisi yang dirawat dan dijaga seluruh warganya. Seperti yang diungkapkan Amak Sultan seorang warga yang sekaligus menjadi pemandu lokal di sana.

Kekhasan bangunan adat Sasak

Berbagai bangunan fisik masyarakat Sasak Ende memanfaatkan bahan dari alam sekitar seperti tanah liat, kayu, bambu dan alang-alang. Pemanfaatan bahan-bahan alami ini mencerminkan keselarasan dengan alam sekitar dan kearifan lokal masyarakat Sasak Ende. Termasuk memanfaatkan kotoran ternak sebagai semen "roda ampat" sebagai penguat struktur bangunan lantai dan diyakini juga untuk mengusir serangga, nyamuk dan gangguan-gangguan energi "negatif" dari luar. Dijelaskan Sultan, dalam keseharian masyarakat Sasak Ende terutama laki-lakinya lebih banyak berada di luar rumah. Teras rumah menjadi arena publik untuk menerima tamu, santai dan bercengkerama.

Berbagai bentuk bangunan dibuat oleh warga sesuai peruntukannya, seperti _balai tani_ untuk rumah tinggal, _balai jajar_ untuk rumah pertemuan warga, _balai lumbung_ untuk menyimpan padi dan hasil pertanian lainnya, pos kamling untuk gardu jaga warga yang dibuat dengan struktur panggung dan mushola untuk tempat warga menunaikan ibadah. Dari macam bangunan itu, menurut sultan ada kekgasan dalam bentuk atap. atap: Atap rumah masyarakat Sasak Ende berbentuk seperti tumpeng terbalik, dengan tingkat yang semakin ke atas semakin kecil. Bentuk atap ini memiliki filosofi sebagai simbol kesakralan dan keharmonisan dengan alam. Dalam hal atap depan _balai tani_ dibuat relatif rendah, sehingga  ketika seseorang memasuki harus merunduk. Mengandung makna nilai filosofi untuk sopan santun ketika bertamu atau memasuki rumah.


Pembagian ruang dalam rumah adat Sasak Ende, Lombok memiliki tata ruang yang jelas, diantaranya ada untuk tempat tinggal, dapur, lumbung, dan tempat ibadah. Tata ruang ini mencerminkan nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Sasak Ende.

Tradisi pernikahan yang unik dan menarik

Begitu juga dalam tradisi pernikahan orang Sasak Ende, paling tidak harus melewati enam tahapan yang begitu dramatis. Sejak dari _merarik, selabar, nuntut wali, nyongkolan, sorong-serah dan kuwade_ atau duduk di pelaminan. Walaupun adat  pernikahan tersebut  terkesan ribet, namun unik dan  menarik. Sehingga nilai dan tradisi ini justru menjadi kebanggan bagi masyarakat Sasak Ende untuk menjaga nilai dan tradisi tersebut Diantara enam tahapan dalam proses pernikahan masyarakat Sasak Ende, hal yang terdengar aneh adalah _merarik_ atau menculik gadis. Menculik gadis pada masyarakat Sasak Ende adalah proses melarikan anak perempuan orang lain yang sebelumnya telah melakukan kesepakatan terlebih dahulu diantara laki-laki dan perempuan tersebut tanpa sepengetahuan dari pihak orang tua dengan tujuan untuk menikah.


Riuhnya peringatan merdi bumi di desa Kaligending, Kecamatan Karangsambung*

Mungkin tradisi _merdi bumi_ menjadi salah satu momen sangat penting di desa Kaligending. Momen yang perlu mengerahkan persiapan ekstra, baik dari aspek waktu, tenaga, perlengkapan dan tentu dana yang tidak sedikit.  Merdi bumi menjadi  tradisi desa yang diperingati hampir setiap tahun di bulan Muharam itu dilaksanakan stidak kurang dari lima hari. Dari penuturan Kades Kaligending, Lukman tradisi  merdi bumi dilaksanakan di dua pedukuhan, yakni dukuh Duwet yang meliputi tiga RW dan pedukuhan Kalikudu meliputi dua RW. Meskipun masih dalam satu desa, dua pedukuhan tersebut memiliki kekhasan dalam kesenian dan tradisinya.

Tayub di dukuh Duwet

Prosesi Merdi Bumi di dukuh Duwet dilaksanakan selama tiga hari, dimulai dengan ziarah leluhur para pendiri desa,  selamatan tumpeng  bucon yaitu nasi gunungan yang dibentuk kerucut  berisi  ingkung ayam yang diselimuti bumbu mogana dari nangka muda yang dicacah lembut dengan cita rasa pedas-asin penuh aroma serai.

Selanjutnya acara merdi bumi diramaikan dengan tenonganm yaitu para kepala keluarga membawa makanan dan jajan pasar yang dikemas dalam sebuah wadah terbuat dari bambu yang dianyam. Beberapa tenong juga diberi pita warna warni sebagai hiasan. Sore harinya diselenggarakan pentas kudakepang yang dimainkan oleh kelompok seni lokal terdiri dari anak-anak muda yang ada di desa  Kaligending.

Di akhir rangkaian tradisi merdi bumidi pedukuhan Dhuwet diselenggarakan  tayuban yang melibatkan beberapa penari, dengan sesekali mengajak  penonton untuk ikut serta menari. Dalam seni tari tradisional tayub ini menjadi riuh, karena cara penari mengajak penonton untuk ikut menari dengan cara mengalungkan kain selendang sampur.  Penari kemudian menariknya ke arena mengikuti irama musik  diatonis gamelan.

Wayang kulit di dukuh Kalikudu

Tradisi merdi bumi di dukuh Kalikudu, desa Kaligending Kecamatan  Karangsambung diselenggarakan dalam bentuk upacara memotong kambing kendhit, gelar sewu tumpeng, dan pentas k3seniqn wayang kulit. Tradisi ini biasa dilaksanakan selama bulan Mukharam. Kambing kendhit adalah kambing berwarna hitam dengan corak putih melingkar tubuh di bagian tengahnya.Terhadap tradisi potong kambing _kendhit_ oleh pakar Javanologi UNS Prof. Sahid Teguh Widodo menjelaskan, bahwa sedekahan itu merupakan salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia. 

"Itu menunjukkan masih ada semesta simbolik dari zaman dahulu, yang masih dilakukan sekarang. Karena keyakinan seseorang itu substansinya berkorban atau sedekah, mengurangi apa yang kita peroleh diberikan kepada orang lain dalam bentuk apapun," seperti dikutip detikJateng.