Ketika ada bencana, banyak media menulisnya. Bahkan semua media menulisnya, meskipun beritanya terkesan diulang-ulang, karena dari sumber berita yang sama. Keterlibatan media dalam pemberitaan bencana bisa jadi merupakan bentuk kepedulian social. Namun ada juga yang berorientasi bahwa kejadian atau peristiwa bencana memiliki nilai jual secara ekonomis. Terlepas dari kepedulian sosial atau motif lainnya, bencana menjadi headline setelah terjadi. Banyak media menuliskanya di halaman utama, dengan tulisan dan warna yang mencolok, dengan ukuran yang sangat besar, bahkan satu halaman penuh dengan gambar full colour dengan harapan dapat menyedot perhatian pembacanya.
Namun tidak banyak media mengulas, tanda-tanda bencana sebagai kesiapsiagaan bencana serta upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat di lokasi terdampak serta memberikan edukasi luas tentang kesadaran "menjaga alam". Berita atau tulisan-tulisan dianggap kurang menarik. Beberapa awak media mengambil posisi pandang bahwa bad news is good news. Akibatnya tulisan kebencanaan berisi hal-hal yang ngeri dan menakutkan. Media masih banyak mengejar sensasi dibandingkan substansi. Kecenderungan lain yang masih sering terlihat di depan mata, bahwa terkesan media telah meninggalkan korban sendirian, setelah diekspos habis-habisan kesengsaraannya. Media gagal mengawal penanganan pasca bencana dengan pembangunan lebih baik, sebut saja misalnya konstruksi tahan gempa pada fase pascabencana.
Menutup kekurangan
Saatnya meluruskan makna jurnalisme kebencanaan. Tidak mudah, namun ada jitu strategi yang dapat ditempuh. Pertama, menanamkan konsep kesiapsiagaan bencana pada awak media: praktik di Nagoya, pertemuan rutin tiap bulan antara media, akademisi dan pemerintah untuk mendiskusikan DRR. Kedua, mainstreaming wacana DRR dengan langsung menulis di media. Sayangnya strategi ini banyak kelemahanya. Baik dari segi kemampuan menulis dan harus bersaing dengan penulis dan tema-tema yang menarik lainnya. Namun dalam strategi ini jurnalisme bencana harus mewacanakan kesiapsiagaan pada setiap tahapan bencana. Pada tahap prabencana hal yang tidak boleh dilipakan adalah mengingatkan warga terhadap ancaman tujuannya untuk mendorong kesiapsiagaan.. Pada Saat bencana harus senantiasa fokus pada korban selamat, kelompok terentan, dan membangkitkan semangat korban. Pada fase pascabencana, media harus mengawal proses rekonstruksi dan rehabilitasi agar tidak menjadi bencana baru. Ketiga, mewacanakan langsung DRR di media sendiri Keempat, Mewacanakan DRR melalui kekuatan sosial media Sebuah media yang cepat dan murah saat tanggap darurat, Menggalang solidaritas dengan cepat, Memanfaatkan crowd untuk pemetaan
Praktek menulis kebencanaan di media
Melaporkan kejadian atau peristiwa bencana secara memadai (5W+1H)
Mengurai kejadian secara komprehensif, sehingga memberi gambaran menyeluruh tentang kejadian bencana (MPT)
Mewacanakan DRR dalam tulisan
Pada fase Pra-Bencana tulisan mendalam atau kajian mengenai tanda-tanda, karakteristik khas, kesiapsiagaan, serta hal-hal yang harus diperbuat. Pada fase Bencana tetaplah Fokus pada cara-cara menolong korban selamat, kelompok terentan, dan membangkitkan semangat korban. Pada fase pasca Bencana Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rekonstruksi dan rehabilitasi agar tidak menjadi bencana baru/berikutnya
(* Disampaikan pada Forum Jurnalisme Kebencanaan bagi Tenaga PUSDALOPS BPBD Kebumen, Rabu 7 April 2021