Wednesday, November 30, 2016

Meningkatkan minat guru untuk melakukan penelitian *)

Sejak diberlakukannya UU Guru dan Dosen tahun 2005 dan sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007, ternyata sangat berdampak besar dalam dunia pendidikan kita. Banyak yang mengikuti sertifikasi guru agar dapat memperoleh sertifikat, dan menjadi guru profesional. Akibatnya, makin meningkatkan minat  masyarakat untuk menjadi guru.  Profesi guru memperoleh posisi sosial yang istimewa, dengan nilai ekonomi yang tinggi. Kita maklumi, karena memang perhatian pemerintah dalam dunia pendidikan dan guru selama ini dirasakan belum optimal.

Impian jadi guru profesional
Namun realitanya, harapan adanya guru yang profesional masih jauh.  Aktivitas sebagian guru belum berubah, terjebak rutinitas, pagi datang hingga siang pulang. Guru mengajar seperti biasa dengan metode ceramah. Andalan utama guru adalah buku teks. Akibatnya proses pengajaran tidak merangsang anak untuk membaca lebih dalam dari informasi guru. Pemandangan semacam ini mestinya dapat diatasi,  jika guru lebih sensitif dengan kondisi anak. Serta adanya kemauan dan kemampuan  guru untuk mencari tahu kemampuan dan kemauan anak.

Melalui penelitian tindakan kelas misalnya, memungkinkan seorang guru mengetahui efektivitas proses pembelajaran,  mencari cara-cara untuk meningkatkan, serta  memilih metode mengajar yang efektif.  Namun,  riset di kalangan guru masih belum menjadi tradisi keilmuan. Di kalangan guru, masih banyak terdengar bahwa  penelitian tindakan kelas itu dibuat sekedar untuk memenuhi persyaratan sertifikasi atau kenaikan pangkat

Berbagai faktor penyebab utama
Dari pemberitaan koran lokal, suatu Kabupaten di Jawa Tengah  menyatakan akan menarik sertifikasi guru untuk sementara, jika selama lima tahun yang bersangkutan tidak membuat karya ilmiah. Ini merupakan fenomena masih rendahnya minat guru untuk meneliti dan menyusun karya ilmiah.  Rendahnya minat guru untuk melakukan penelitian, paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakanginya.

Pertama, adalah faktor mentalitas. Ada sebagian orang berfikiran dapat mencapai keberhasilan itu, tanpa usaha keras. Ada sebagian guru, membuat karya penelitian itu hanya karena memenuhi  persyaratan sertifikasi atau kenaikan pangkat.  Praktis,  karya ilmiah itu dibuat sekedarnya dan tidak maksimal. Belum lagi, dari sisi administrasi, masih permisif kearah kualitas karya. Kedua, selain  mentalitas, faktor lainnya  adalah kemampuan. Ketika seorang guru harus menyusun laporan penelitian, berarti dia harus memiliki kemampuan menulis dan kemampuan meneliti. Dalam hal kemampuan menulis, ternyata tidak seluruhnya guru memiliki kemampuan untuk itu. Sebab musababnya karena sebagian guru relatif jarang membaca.  

Awalnya adalah kebiasaan membaca
Jika seseorang tidak pernah membaca, bagaimana mungkin dia dapat menulis?  Mengapa begitu? Karena proses menulis pada dasarnya merupakan kegiatan menghubungkan antara konsep yang satu dengan yang lain. Beberapa konsep itu, bisa jadi berasal dari satu, dua atau bahkan banyak bacaan. Rendahnya  minat baca biasanya berpengaruh terhadap minat menulis. Dengan memiliki kemampuan menulis, seorang guru akan mudah menyampaikan idenya dengan kalimat yang efektif. Dia juga, akan dapat memilih kata dan gaya bahasa yang tepat,  menciptakan paragraf yang dinamis dengan hubungan yang koherent.

Meneliti untuk mengatasi masalah
Belum lagi, persoalan kemampuan meneliti. Kemampuan meneliti, berarti berhubungan dengan  menerapkan metode penelitian. Karena penelitian sebagai metode ilmiah, tentulah harus mengikuti tahapan dan mekanisme baku yang harus diikuti oleh seorang peneliti. Agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu.  Penelitian atau re-search, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai  cara ilmiah untuk mencari jawab atas persoalan-persoalan yanag sifatnya kompleks.

Melalui pendekatan  ilmiah itu, problematika penelitian kemudian dirumuskan ke dalam kerangka yang lebih terukur untuk menemukan fokus. Fokus inilah yaang kemudian disebut sebagai variabel. Berdasarkan tinjauan teori dari ilmu pengetahuan yang telah ada, seorang peneliti dapat menduga sementara bagaimana  arah interaksi  antar variabel penelitianya. Inilah yang dinamakan hipotesis. Agar hipotesis yang sifatnya teoritis itu dapat digunakan untuk mengukur realitas yang terjadi dalam kegiatan belajar-mengajar misalnya, maka hipotesis teori itu harus dioperasionalkan. Sehingga nantinya, seorang guru yang bertindak sebagai peneliti akan tahu,  bagaimana cara mengukurnya di kelas, dengan teknik apa mengumpulkan datanya, meliputi berapa siswa yang perlu diikutsertakan serta bagaimana mengolah datanya setelah dikumpulkan.

Inilah yang dianggap sebagian guru kita sebagai sesuatu yang ribet. Sehingga wajarlah jika kemudian, ada sebagian guru, memilih cara-cara “belakang” yang pikirnya lebih mudah.  Jika keadaan dan mentalitas itu tidak segera diubah, niscaya dunia pendidikan kita akan mengalami masa yang suram.

Mulai dari perpustakaan
Sudah saatnya menegakkan kualitas mekanisme sertifikasi guru, dengan menutup rapat-rapat “pintu belakang” di tiap tingkatan administrasi. Terhadap guru sudah bersertifikasi, perlunya sistem penghargaan yang lebih memadai, sehingga kesejahteraannya meningkat dan memiliki dorongan untuk terus exist menjadi guru yang profesional. Sementara itu, untuk menutup kesenjangan kemampuan menulis maupun kemampuan meneliti, dapat dimulai dari ruang perpustakaan. Saatnya koleksi perpustakaan sekolah tidak lagi berisi  latihan soal dan bacaan untuk siswa saja.

 Guru perlu membaca. Guru perlu bahan bacaan yang memperkaya  pola pikir. Perlu adanya forum, workshop atau sanggar yang dapat meningkatkan kemampuan praktis guru, serta adanya kegiatan kompetitif yang dapat mendorong  kegiatan meneliti. Jika hal-hal tersebut dapat dicapai, kita bisa yakin bahwa pendidikan, mulai dari  proses belajar mengajar akan meningkat dengan  memanfaatkan hasil penelitian tindakan kelas yang valid dan reliabel.


*)  Catatan:
Arsip naskah un-publish dalam rangka memperingati Hari Guru


Peran KORPRI dalam meneguhkan profesionalisme dan netralitas ASN dalam pelayanan publik *)

Melalui berbagai regulasinya, pemerintah sebenarnya telah demikian jelas mendudukkan posisi PNS sebagai profesi yang netral dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata. Hal ini sebagaimana diatur dalam undang-undang pokok-pokok kepegawaian, yang ditetapkan sejak tahun 1999. Namun, upaya ini belumlah nampak riil pada perilaku kerja PNS dalam pelayanan publik.

Potret kinerja pelayanan publik
Laaporan Ombudsman Republik Indonesia akhir-akhir ini, menengarai adanya kenaikan drastis keluhan masyarakat terkait penyimpangan penyelenggaraan pelayanan publik. Pada tahun 2013, keluhan atas kasus penyimpangan itu meningkat hampir dua kali lipat! Dari 2.209 laporan pada tahun 2012  meningkat menjadi 4.359 laporan masyarakat pada tahun 2013. Jumlah itu meningkat 97,3 %, dengan lokus terbanyak terjadi pada pelayanan Pemerintah Daerah, pelayanan di kepolisian, instansi vertikal dan Badan Pertanahan  (Pikiran Rakyat, 2014). Selanjutnya dalam laporan itu, juga menyebutkan bahwa penyimpangan pelayanan publik tersebut terjadi dalam bentuk konflik kepentingan, permintaan uang, barang, dan jasa serta terjadinya mal-administrasi pelayanan.  Kerja aparat dianggap lamban, adanya keberpihakan dan dinilai tidak kompeten.

Profesionalisme dan netralitas
Jika kita perhatikan, potret kinerja pelayanan publik di atas, mencerminkan bagaimana kondisi kinerja sesungguhnya para aparat sipil negara kita sebagai penyelenggara pelayanan publik. Dari bentuk penyimpangan pelayanan di atas, kita dapat mengerti, bahwa permasalahan utama Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah masalah profesionalisme dan netralitas. Kedua permasalahan tersebut, baik profesionalisme maupun netralitas dapat saling mempengaruhi. Keduanya melekat pada aktivitas seseorang ASN.  

Dalam hal profesionalisme, seseorang dikatakan profesional jika ia melakukan pekerjaan dengan keahlian khusus dan menghasilkan produk  layanan yang berkualitas, bertanggung jawab, dan sistematis. Tingkat profesionalisme seseorang sebenarnya dapat diamati dari apakah seseorang itu menyukai atau menikmati tugas yang ia kerjakan. Dari tingkat rasa suka dan menikmati pekerjaan akan terpantul antusiasme dan kepeduliannya dalam melayani klien atau masyarakat. Kedua hal itulah yang langsung dirasakan dan dinilai oleh masyarakat, bahwa ia telah dilayani secara profesional atau tidak. Telah terjadi mal-administrasi atau tidak. Oleh karena itu, jika kita ingin membangun profesionalisme, kita bisa meminjam konsep David H.Maister (1997) seorang penulis “True Profesionalism : The courage to care about your people, your client, and your career”, bahwa profesionalisme itu sesungguhnya merupakan perpaduan antara motivasi, inisiatif, komitmen, keterlibatan langsung dengan pekerjaan dan antusiasme.

Netralitas melahirkan keadilan dalam pelayanan
Permasalahan netralitas ASN sebenarnya tidak hanya dalam konteks Pilkada atau proses suksesi kepemimpinan saja. Dalam konteks yang lebih luas, netralitas ASN sering diuji ketika menyangkut SARA. Rendahnya netralitas ASN dalam pelayanan publik sering kali berakibat munculnya konflik kepentingan, keberfihakan dan pelayanan yang tidak merata, penyimpangan prosedur dan tidak transparan.  Kesemuanya itu akan menyebabkan munculnya ketidakadilan dalam pelayanan.

Menunggu realisasi reformasi birokrasi
Melihat besar dan luasnya persoalan dalam sistem pelayanan publik, sebenarnya Pemerintahpun tidak tinggal diam. Upaya yang dilakukan pemerintah sangatlah mendasar dalam bentuk Grand Disain Reformasi Birokrasi, untuk mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance). Tujuanya adalah untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.

Melahirkan Undang-undang ASN
Dari Reformasi Birokrasi melahirkan UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menempatkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, menetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.  Dengan kelahiran undang-undang ASN memberi landasan manajemen pengelolaan dan pengembangan aparatur di kemudian hari.

Berharap dari implementasi merit system
Untuk merealisasikanya, Pemerintah menerbitkan Permen PAN-RB No. 13 tahun 2014. Sesuai Peraturan menteri ini,  manajemen ASN dilakukan sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Sistem merit ini dengan sembilan prinsipnya, akan mampu membangun terciptanya aparatur yang memiliki profesionalisme dan netralitas tinggi dalam pelayanan publik.

Peran KORPRI ke depan
Sebagai korps yang beranggotakan para profesi pegawai ASN, KORPRI ke depan memiliki peran strategis, dalam menumbuhkembangkan profesionalisme dan menjaga netralitas ASN dalam pelayanan publik, baik melalui upaya internal maupun eksternal. Secara internal KORPRI paling tidak berperan membangun independensi, profesionalisme dan netralitas. Sedangkan eksternal, KORPRI dituntut perannya dalam mendorong Pemerintah mengimplementasikan prinsip-prinsip manajemen ASN dengan  sistem merit, yang memungkinkan terbinanya kinerja, profesionalisme dan netralitas ASN dalam pelayanan publik.

Dengan demikian, harapan besar akan meningkatnya kualitas pelayanan publik, sebenarnya masyarakat sangat menggantungkan harapan tersebut kepada KORPRI dalam memainkan peranya dalam menumbuhkan profesionalisme dan netralitas ASN.

(* Catatan:
Arsip naskah lomba karya tulis
dalam rangka HUT KORPRI Kabupaten Kebumen
tgl 29 Nopember 2016, sebagai Juara I. 




Riwayat pekerjaan

Riwayat pekerjaanku di Kebumen, aku awali bekerja sebagai CPNS Petugas Gizi Puskesmas Karanganyar, pada  tahun 1987. Selama hampir lima tahun aku bekerja di sana. Pada tahun 1992, aku hijrah bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen sebagai staf di Sub Seksi Gizi.

Menjadi Sekretaris KORPRI Sub Unit Dinkes 
Menjadi staf di dinkes, banyak mengalami pergeseran tempat tugas. Hingga ada pengangkatan sebagai sekretaris KOPRI Sub Unit Dinas Kesehatan. Jabatan sekretaris itu disamakan dengan jabatan struktural eselon VB.  Dengan surat keputusan  Bupati Kebumen, sejak  tanggal 04 - 12 -1995 aku menjadi  Sekretaris KORPRI dan memperoleh tunjangan. Namun itu tidak lama, karena pada tahun berikutnya, tunjangan sekretaris KORPRI itu dihentikan.

Menjadi Sekretaris DEST
Dalam keseharian selain tugas sebagai Sekretaris KORPRI, aku sebagai staf Sub Bagian Perencanaan di bawah Kepala Bagian TU Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Ketika itu, ada struktur baru yaitu Sub Bagian Perencanaan. Hampir dua tahun, aku bekerja di Sub bagian Perencanaan, hingga aku ditugasi sebagai Sekretaris tim DEST (District Epidemiological Surveilance Team). Akupun dimutasi sebagai staf di Seksi Surveilans Bidang Pemberantasan Penyakit Menular. Buah pekerjaan inilah, Alhamdulillah aku berkesempatan mengikuti tugas belajar pendidikan pasca sarjana di UGM Yogyakarta hingga lulus tahun 2001.

Sebagai Kasubag Perencanaan.
Beberapa tahun setelah lulus dan masih berada sebagai  staf Seksi Surveilans Bidang Pemberantasan Penyakit Menular., aku menerima penugasan Bupati sebagai Kepala Sub.Bag Perencanaan Dinkes Kebumen  mulai tanggal 22 Oktober2004. Dan dikukuhkan lagi tetap sebagai Kepala Sub.Bag Perencanaan Dinkes pada tahun 2010.

Mutasi sebagai Kepala Puskesmas Kebumen III
Pada tanggal 31 Desember 2010 aku menerima penugasan sebagai Kepala Puskesmas Kebumen III di Kutosari. Puskesmas Kebumen III merupakan puskesmas yang berada di wilayah perkotaan kebumen, dengan 6 Desa dan Kelurahan sebagai wilayah kerja Puskesmas. Meskipun bekerja sebagai Kepala Puskesmas, tidak lama, namun aku merasa banyak yang bisa aku perbuat, terutama dalam hal penerapan dasar-dasar  manajemen Puskesmas-perencanaan, pengendalian dan evaluasi program pelayanan Puskesmas. Hingga pada bulan Mei 2011, aku menerima penugasan sebagai Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Dinkes.

Kembali masuk lingkungan Dinkes sebagai Kabid PMK
Setelah hampir lima bulan sebagai Kepala Puskesmas Kebumen III,  terhitung mulai 11 Mei 2011 aku kembali masuk lingkungan Dinkes lagi sebagai Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Dinkes. Bidang PMK melaksanakan banyak program, yang terbagi dalam tiga Seksi, yaitu Seksi Kesehatan Lingkungan, Seksi Pemberantasan penyakit, baik menular maupun tidak menular dan Seksi Surveilans penyakit dan Kejadian Luar Biasa. 

Keluar Dinkes: Dari Sekretaris Bappeda ke UPTP2K
Ini adalah periode aku menerima penugasan yang benar-benar keluar dari lingkungan Dinas Kesehatan. Yaitu ketika aku menerima penugasan sebagai Sekretaris BAPPEDA, terhitung mulai 20 Januari 2014. Memasuki tahun ke dua di BAPPEDA, aku menerima tugas rangkap sebagai Kepala UPT-P2K Kebumen.

Tugas kali ini sebenarnya merupakan tugas ad-officio karena  tugas ini melaksanakan fungsi dari jabatan sekretaris BAPPEDA, yaitu sebagai Kepala Unit Pelayanan Terpadu Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (UPT-P2K). Yang tugas pokok dan fungsinya adalah melayani warga miskin, berdasarkan basis data kemiskinan, melakukan verifikasi dan validasi data sasaran. Dengan konsep pelayanan berbasis data memungkinkan pelayanan pada warga miskin dapat tepat sasaran. Di UPTP2K saat ini juga bertindak sebagai  call-center ambulance gratis bagi warga miskin.